Ekonomi

DJP Ancam Terapkan Paksa Badan terhadap 200 Penunggak Pajak Tak Kooperatif

JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengisyaratkan akan mengambil langkah penegakan hukum paling tegas terhadap Wajib Pajak (WP) yang membandel. Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, menyatakan bahwa pihaknya telah mengidentifikasi sekitar 200 penunggak pajak yang secara konsisten tidak menunjukkan itikad baik untuk melunasi kewajibannya. Terhadap mereka, DJP siap menerapkan sanksi paksa badan atau gijzeling (penyanderaan) sebagai upaya terakhir untuk mengamankan penerimaan negara.

Langkah drastis ini menandai eskalasi dalam upaya penegakan hukum pajak (law enforcement) di Indonesia. Sanksi gijzeling merupakan instrumen pamungkas yang dapat digunakan oleh otoritas pajak untuk memaksa penanggung pajak melunasi utang pajaknya, setelah berbagai upaya persuasif dan administratif tidak membuahkan hasil. Ancaman ini ditujukan untuk menciptakan efek jera (deterrent effect) yang kuat dan mengirimkan pesan yang jelas bahwa negara tidak akan berkompromi dengan para pengemplang pajak.

“Kami memiliki sekitar 200-an (Wajib Pajak) yang kami monitor secara terus menerus, yang betul-betul tidak kooperatif, ya kami akan lakukan tindakan itu (penyanderaan),” tegas Suryo Utomo kepada wartawan di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Pernyataan ini menegaskan keseriusan DJP dalam mengejar para penunggak pajak kelas kakap yang selama ini mungkin merasa kebal hukum. Langkah ini diambil di tengah upaya pemerintah untuk terus mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menopang berbagai program pembangunan nasional.


 

Analisis Mendalam: Membedah Mekanisme Gijzeling

 

Ancaman penyanderaan mungkin terdengar ekstrem, namun tindakan ini memiliki landasan hukum yang kuat dan bukan merupakan tindakan sewenang-wenang. Gijzeling adalah upaya penagihan pajak dalam bentuk pengekangan kebebasan sementara terhadap penanggung pajak dan diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000.

Penting untuk dipahami bahwa gijzeling dalam konteks pajak bukanlah hukuman pidana penjara. Ini adalah sanksi administratif di bidang perdata. Tujuannya bukan untuk menghukum, melainkan untuk menekan secara psikologis agar penanggung pajak segera melunasi utang pajaknya. Seseorang yang menjalani gijzeling akan segera dibebaskan begitu utang pajak dan biaya penagihannya lunas.

Syarat Penerapan Gijzeling

Otoritas pajak tidak bisa sembarangan menerapkan sanksi ini. Terdapat serangkaian syarat ketat yang harus dipenuhi, antara lain:

  1. Besaran Tunggakan: Penanggung pajak memiliki utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
  2. Ketidakpatuhan: Penanggung pajak telah terbukti tidak memiliki itikad baik dalam melunasi utang pajaknya. Hal ini dibuktikan dengan sikap yang tidak kooperatif, mengabaikan surat peringatan, atau mencoba menyembunyikan aset.
  3. Kemampuan Membayar: Otoritas pajak harus dapat membuktikan bahwa penanggung pajak sebenarnya memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya, namun tidak mau melakukannya.

Izin untuk melakukan gijzeling harus dikeluarkan oleh Menteri Keuangan (untuk utang pajak tingkat pusat) atau oleh kepala daerah (untuk utang pajak tingkat daerah) dan pelaksanaannya dikoordinasikan dengan aparat penegak hukum, yaitu Kepolisian RI dan Kementerian Hukum dan HAM.


 

Ultimum Remedium: Tangga Eskalasi Penagihan Pajak

 

Gijzeling merupakan ultimum remedium atau upaya hukum terakhir. Sebelum sampai pada tahap ini, DJP telah melakukan serangkaian tindakan penagihan secara bertahap sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang. Tangga eskalasi ini menunjukkan bahwa DJP selalu mengedepankan pendekatan persuasif terlebih dahulu.

  1. Surat Teguran: Tahap awal di mana WP diingatkan secara resmi untuk melunasi tunggakannya dalam waktu 21 hari.
  2. Surat Paksa: Jika Surat Teguran diabaikan, DJP akan menerbitkan Surat Paksa yang memiliki kekuatan eksekutorial. WP diberi waktu 2×24 jam untuk melunasi utangnya.
  3. Penyitaan Aset: Apabila Surat Paksa tidak diindahkan, Jurusita Pajak akan melakukan penyitaan terhadap aset milik penanggung pajak, baik aset bergerak (kendaraan, uang tunai) maupun aset tidak bergerak (tanah, bangunan).
  4. Lelang Aset: Aset yang telah disita kemudian akan dilelang secara publik untuk menutupi utang pajak.
  5. Pencegahan Bepergian ke Luar Negeri: Jika utang pajak masih belum lunas, DJP dapat mengajukan permohonan kepada pihak imigrasi untuk mencegah penanggung pajak bepergian ke luar negeri.
  6. Gijzeling (Paksa Badan): Jika semua upaya di atas masih belum berhasil dan penanggung pajak terbukti mampu namun tidak mau membayar, maka sanksi paksa badan menjadi opsi terakhir yang akan ditempuh.

Proses yang panjang dan berlapis ini menunjukkan bahwa 200 WP yang menjadi target penyanderaan adalah kasus-kasus tunggakan pajak yang sudah kronis dan terbukti tidak kooperatif.


 

Tujuan Ganda: Penerimaan Negara dan Keadilan Pajak

 

Langkah tegas DJP ini memiliki dua tujuan strategis yang sama pentingnya.

Pertama, optimalisasi penerimaan negara. Setiap rupiah pajak yang berhasil ditagih akan masuk ke kas negara dan digunakan untuk membiayai program-program vital, mulai dari pembangunan infrastruktur, subsidi energi, layanan kesehatan, hingga pendidikan. Di tengah tantangan ekonomi global, memastikan setiap potensi penerimaan pajak terkumpul menjadi prioritas utama.

Kedua, dan yang tidak kalah penting, adalah menegakkan prinsip keadilan pajak (tax justice). Tindakan tegas terhadap para pengemplang pajak mengirimkan pesan kuat kepada jutaan Wajib Pajak lain yang selama ini telah patuh menjalankan kewajibannya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perpajakan tidak tebang pilih. Membiarkan para penunggak besar bebas tanpa sanksi akan mencederai rasa keadilan dan dapat menurunkan tingkat kepatuhan pajak secara keseluruhan.

Dengan menindak tegas yang tidak patuh, DJP berharap dapat meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dari Wajib Pajak lainnya. Efek gentar yang ditimbulkan diharapkan dapat mendorong WP yang masih memiliki tunggakan untuk segera menyelesaikan kewajibannya sebelum tindakan hukum yang lebih keras diterapkan.


 

Kesimpulan

 

Ancaman penerapan sanksi paksa badan atau gijzeling oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap 200 penunggak pajak yang tidak kooperatif merupakan sinyal keseriusan pemerintah dalam reformasi penegakan hukum pajak. Langkah ini, meskipun merupakan upaya terakhir, menjadi instrumen krusial untuk mengamankan penerimaan negara dan menegakkan asas keadilan bagi seluruh pembayar pajak. Di balik angka dan ancaman sanksi, terdapat pesan fundamental tentang pentingnya gotong royong dalam membangun bangsa melalui kepatuhan pajak. Bagi para penunggak pajak, ini adalah peringatan terakhir untuk segera menyelesaikan kewajiban mereka sebelum kebebasan mereka terenggut. Bagi publik, ini adalah jaminan bahwa otoritas pajak terus bekerja untuk memastikan setiap Wajib Pajak diperlakukan setara di hadapan hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button